Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

Kamis, 05 Mei 2011

Petani versus TNI

Konflik petani dan TNI di Kebumen akhirnya memakan korban. Konflik mengenai penguasaan tanah menjadi penyebab utamanya. Kedua belah pihak tidak mampu menahan diri terhadap proses negosiasi yang sedang dilakukan berbagai pihak terkait.  Petani yang merupakan masyarakat kecil dan lemah sekarang dalam posisi bersalah sebagai “tersangka” dengan tuduhan melakukan perbuatan anarkis merusak fasilitas negara (baca: TNI). TNI sendiri dianggap melanggar HAM oleh Komnas HAM karena melakukan penembakan tanpa alasan yang kuat terhadap warga sipil. Akhirnya kondisi ini menuai kecaman berbagai pihak, DPR ikut meminta konflik pertanahan yang melibatkan petani dan TNI ini segera diselesaikan secara permanen dengan pilihan tanah diserahkan ke petani atau ke TNI sehingga semua menjadi jelas.

Melihat secara dalam konflik antara petani dan TNI di Kebumen bisa dibaca sebagai resistensi petani dan tindakan defensive akibat tidak terjaminnya kehidupan petani. Dengan tidak terjaminnya kehidupan petani, maka perilaku resistensi tersebut dipakai sebagai survival strategy dalam menghadapi ketidakpastian. Perilaku ini bukan saja menggambarkan tindakan pengingkaran petani terhadap pemegang kebijakan yaitu negara, melainkan juga pertanda aksi yang berprinsip dahulukan selamat (safety first) ditengah tidak terjaminnya kehidupan mereka jika mengamini kebijakan negara (TNI ) yang hegemonic dan untuk kasus perebutan tanah di Kebumen petani akan sangat dirugikan jika menuruti keinginan TNI menjadikan lahannya sebagai lahan latihan militer. Karena sering kali latihan merusak tanaman yang sudah siap panen.

Menifestasi ketidakpuasan terhadap penyelesaian kasus tanah urut sewu itulah yang melatarbelakangi ribuan petani desa Setrojenar Kebumen. Adanya ketidakjelasan hukum dalam penyelesaian konflik ini akhirnya petani melakukan aksi politik demonstrasi yang dianggap sikap paling efektif dan tepat terhadap negara dan TNI. Demonstrasi bagi petani adalah aksi terakhir dan satu – satunya yang memiliki bargaining position bagi perbaikan ekonomi dan penghidupan mereka setelah tanah konflik bisa digarap sepenuhnya oleh mereka. Dilihat dalam perspektif perjuangan gerakan petani, aksi di Kebumen adalah lambang akan lemahnya proses penyelesaian kasus agrari yang dilakukan oleh negara cenderung eksploitatif dan cenderung mengabaikan kearifan lokal.

Dualisme Hukum

Tanah urut Sewu yang menjadi objek konflik memang sudah puluhan tahun ditanami semangka dan bodin oleh petani. Konflik ini memuncak setelah LSM dan pihak luar masuk memprovokasi petani agar melawan TNI. Walaupun TNI mengklaim tanah itu resmi miliknya, namun desa juga mengeluarkan dokumen letter C kepada petani terhadap tanah yang sama sehingga petanipun mengaku tanah itu meilik mereka. Dualisme hukum inilah yang juga melatarbelakangi konflik ini yang mengakibatkan sejarah konflik agraria selalu berdarah – darah.

Dualisme hukum ini menghadapkan antara hukum negara (TNI ) dengan hukum petani (hukum adat/lokal). TNI menempatkan hukum sebagai determinan struktur yang terekonstruksi dalam wujudnya yang bersifat substantive (berkandungan etis) ke wujud yang lebih menekankan bentuknya yang formal. TNI ngotot  menggunakan tanah urut sewu berdasarkan formalitas yang dimiliki dengan mengabaikan hukum adat yang bersifat lokal. TNI merasa prosedural birokrasi sudah dilalui sehingga membenarkan langkah hukum untuk menindak petani yang dianggap melawan negara. Sebaliknya petani berpegang kepada hukum lokal, dimana menurut Moore 1973 bahwa hukum adat yang bersifat lokal memiliki kekuatan dalam realitas pola perilaku masyarakat (pattern of actual behavior). Kondisi ini akan mampu menciptakan self regulating mechanism yang akan bekerja secara informal namun otonom yang umumnya mempunyai mekanisme yang cukup efektif untuk tujuan penyelesaian setiap konflik yang terjadi. Konflik akibat dualisme hukum ini seharusnya tidak akan terjadi jika TNI “bersabar” untuk tidak menembak petani yang sebenarnya secara alami memiliki sarana untuk bisa menyelesaikan konflik dengan hukum adat mereka.

Jalan Keluar

Konflik sudah terjadi, petani sudah jatuh korban dan citra TNI kurang baik. Semangat UU Pokok Agraria 1960 sebenarnya sudah memberikan harapan keadilan bagi petani dalam mendapatkan tanah sebagai lahan garapan mereka. Namun sampai reformasi 1997 semangat ini tidak pernah terealisasi, strategi land reform dinilai oleh rezim penguasa sebagai strategi gerakan kiri untuk melawan negara. Paradigma negara dalam pembangunan masih berorientasi kepada kapitalis dan leiberalisasi yang cenderung mengorbankan petani pemilik negara yang realitasnya agraris ini. Penelitian Rehman Sobhan (1993) seorang ekonom terkemuka dari Bangladesh, melalui bukunya yang berjudul “Pembaharuan Agraria dan transformasi social : prasyarat bagi pembangunan” mengulas perjalanan sejarah dan pengalaman program pembaharuan agraria di 36 negara di seluruh dunia.

Kesimpulannya yang ia tarik dari semua pengalaman tersebut adalah, bila kita benar – benar ingin mewujudkan penghapusan kemiskinan di pedesaan serta mengakselerasikan segala pembangunan ekonomi, maka tidak ada alternative lain selain melakukan pembaharuan agrarian secara radikal. Kajian teori ini memberikan makna tersirat bahwa masalah agraria harus dikembalikan spiritnya kepada petani sebagai rakyat yang membutuhkan lahan untuk kehidupan mereka. Tinggal TNI mau atau tidak ? semua itu kembali kepada TNI yang lahir dari rakyat.

Sekjen DPP PPNSI (Perhimpunan Petani dan Nelayan Sejahtera Indonesia )

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Blogger Templates